Ribuan anak tangga mengular, menuruni bukit, melewati lembah lalu menanjak dengan kemiringan ekstrim di Kampung Girpasang, Desa Tegalmulyo, Kecamatan Kemalang, Klaten. Di beberapa bagian, anak tangga berkelok tajam beberapa kali mengikuti bibir lembah nan curam yang sebagian sudah ditutupi semak belukar.
Di bagian lainnya, persis disisi sepanjang anak tangga, menjulang tinggi bukit berbatu yang sudah longsor di beberapa titik. Seorang warga memberitahu kami bahwa dinding tebing itu pernah longsor pula ketika Yogya diguncang gempa pada 2006 silam.
Memang cukup menantang, namun tidak demikian halnya dengan yang dirasakan oleh para wanita tangguh yang ada di lokasi tersebut.
Salah satunya adalah seorang nenek bernama Sarmoyoso (75), warga Kampung Jamuran yang berada di seberang Kampung Girpasang.
Di bagian lainnya, persis disisi sepanjang anak tangga, menjulang tinggi bukit berbatu yang sudah longsor di beberapa titik. Seorang warga memberitahu kami bahwa dinding tebing itu pernah longsor pula ketika Yogya diguncang gempa pada 2006 silam.
Memang cukup menantang, namun tidak demikian halnya dengan yang dirasakan oleh para wanita tangguh yang ada di lokasi tersebut.
Salah satunya adalah seorang nenek bernama Sarmoyoso (75), warga Kampung Jamuran yang berada di seberang Kampung Girpasang.
Saking banyaknya rumput yang ia bawa, sampai wajahnya pun nyaris tertutup sebagian.
Tangan kirinya, memegang bagian rumput supaya tidak jatuh, sementara tangan kanannya selain memegang rumput juga sambil memegang arit.
Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti, satu demi satu anak tangga dilewati hingga akhirnya bisa sampai ke tempat tujuan.
Aktivitas ini, ia lakukan setiap hari. Berangkat pada pukul delapan pagi, dan selesai sekitar pukul 11 siang.
Padahal rute maupun jarak yang ia tempuh tidaklah mudah.
Dari rumahnya, ia harus menyusuri jalan sejauh tiga hingga empat kilometer untuk bisa sampai ke tempat mencari rumput. Yakni, melewati rute ribuan anak tangga untuk menyeberang ke Kampung Girpasang. Kemudian naik lagi hingga ke tempat mengambil rumput.
Setelah itu, ia pun harus segera kembali lagi menempuh rute yang sama. Apalagi saat musim hujan seperti ini, jika siang sedikit biasanya turun hujan yang artinya akan membuat rute itu semakin menantang.
"Ya capek, tapi sudah biasa seperti ini," ucapnya dengan menggunakan bahasa Jawa ketika kami temui di sebuah pos ronda di Kampung Ringin, Sabtu (5/12/2015).
Di tempat ini, ternyata ada dua orang perempuan lainnya yang sudah menunggu. Mereka tiba lebih awal, dengan membawa beban yang sama seperti Sarmoyoso.
Samoyoso, yang tiba belakangan langsung menurunkan tumpukan jeraminya lalu bergabung dengan mereka.
Ia mengusap keringat, mengelap mukanya lalu mengibaskan kain yang dikalungkan di leher. Hanya berselang sekitar 10 menit, Sarmoyoso sudah siap-siap lagi untuk beranjak melanjutkan perjalanan ke rumahnya.
"Iya, mau jalan lagi," ucapnya.
Hanya dengan beberapa gerakan tangan, tumpukan jerami diatas tanah pun sudah berpindah ke atas kepalanya.
Ia sudah berhasil memulihkan tenaga, dan siap melanjutkan perjuangannya sampai rumah yang berada di Kampung Jamuran.
Langkah kaki Sarmoyoso diikuti oleh dua orang perempuan lainnya yang sama-sama mencari rumput. Mereka berjalan beriringan meninggalkan tempat mereka beristirahat sejenak.
Diantara mereka, salah satunya adalah Maryati (45)
Senada, Maryati juga merasa tak begitu kerepotan harus menempuh rute yang cukup melelahkan tersebut.
Sebaliknya, ia justru merasa kebugaran tubuhnya selalu terjaga lantaran setiap hari ditempa seolah melakukan olahraga.
Benar-benar sebuah perjuangan yang tidak mudah, namun mereka menjalaninya dengan penuh keikhlasan.
0 Response to " Kisah Nenek Tangguh yang Meniti "Seribu Anak Tangga" Demi Sesuap Nasi "
Posting Komentar