Metamorfosa Sakti "Sheila On 7"


Suatu siang di Bandara Soekarno Hatta. Seorang pemuda tampan dengan setelan necis melangkah mantap. Di atas bandara, langit biru membentang. Si pemuda berjalan sedikit tergesa. Di tangannya tergenggam selembar tiket tujuan ke negeri Jiran, Malaysia. Saat itu kalender menunjuk tahun 2005.

Matanya bernyala semangat. Namun di pintu masuk, ia dihadang kerumunan remaja putri. "Sakti..Sakti..Sakti!!," teriak anak-anak tanggung itu sahut menyahut tak putus. Tak hanya memanggil, mereka juga menarik tangan pemuda itu.

Sakti Ari Seno, nama si pemuda itu cuma bisa pasrah sembari terus melempar senyum. "Iya, terima kasih. Saya jalan dulu ya," kata dia kepada para fans sambil menerobos kerumunan. Langkahnya sempat terhenti. Ia dimintai tandatangan.

Sakti kala itu tengah melesat bak komet di jagat musik pop Tanah Air. Berkat grup band yang ia gawangi, Sheila On 7, media tak henti menyorot aktivitas sang gitaris tampan itu. Namanya tenar ke sekujur Nusantara. Idola kaum hawa.

Siang itu, Sakti tengah siap bertolak ke Malaysia bersama sang rekan, Eross. Keduanya mewakili Sheila On 7 untuk menerima penghargaan atas album mereka yang mendapat penghargaan album terbaik di negara tetangga.

Dengan nafas tengah-tengah usai meladeni fans, Sakti ahirnya berhasil masuk ke ruang tunggu pesawat. Sial, jadwal penerbangan rupanya 'ngaret'. Ia bersama penumpang lain harus rela menunggu lebih lama lagi.

Bosan menunggu. Sakti rupanya tertarik dengan sebuah gerai toko buku di dekat ruang tunggu. "Ros, aku ke toko buku sebentar. Bosan," kata dia. Mendengar itu Eross, gitaris Sheila On 7, membalas dengan anggukan kepala.

Begitu masuk ke toko buku, matanya terpaku pada sebuah buku berjudul "Menjemput Sakaratul Maut Bersama Rasulullah". Entah kenapa ia tertarik pada buku itu. Ia penasaran dengan isinya. 

Sudah beberapa hari terakhir, hati Sakti memang tengah gundah. Sakti jeri pada kematian. Ia juga was-was terbang ke negeri tetangga. Terlebih ia pergi di saat sedang 'musim' kecelakaan pesawat. Pesawat yang gagah bisa mendadak rapuh lalu jatuh. 

Buku itu lalu dibeli. Dibaca sejenak dalam perjalanan. Lalu dibawa kembali ke Yogya saat pulang dari Malaysia. Setibanya di rumah, Sakti kaget....

Diingatkan tentang Kematian

Setiba di Yogya, perasaannya makin terenyuh. Ia mendapati ibunya sakit keras. Sebelah paru-paru ibunya mengecil.

Pikiran Sakti makin lekat pada kematian. Apalagi setelah seorang bibinya yang datang menjenguk, membawakan sebuah majalah keagamaan yang juga bicara kematian.

Rentetan peristiwa itu membuat Sakti merasa diingatkan Allah tentang kematian, hal yang dulu sama sekali tak pernah ia pikirkan. "Kita semua akan mati. Masalah waktunya, kita tak pernah tahu,” ujar Sakti pelan, mengenang awal perjalanan saat dia hijrah.

Dari situ ia mulai membulatkan tekad, belajar agama. Tapi apa dia siap keluar dari band besar yang tengah berada di puncak popularitas? Posisinya sebagai gitaris utama kelompok itu pasti  diimpikan jutaan anak muda di Indonesia. "Kan tidak mungkin tubuh kita sudah masuk mobil tapi kaki kita tertinggal," ujarnya.

Dalam hati kecilnya, pria kelahiran Yogyakarta, 14 Juni 1980, ingin seutuhnya masuk ke dalam agama Allah yang penuh rahmat ini. Namun popularitas dan uang juga bukan perkara mudah didapat. Tarik menarik antara popularitas dan panggilan agama sempat menjadi dilema.

Tapi ia akhirnya membulatkan hati. Sakti akhirnya memutuskan hengkang dari Sheila On 7 di tahun 2006. Keputusan itu tak pelak membuat heboh jagat hiburan. Para fans pun tercengang. Tak percaya. Saat itu Sakti beralasan ingin fokus memperdalam agama.

Keputusan itu sempat mendapat kritik dari beberapa pihak. Keluarganya juga agak sulit mengerti dengan keputusan itu, tapi kemudian bisa memaklumi. "Pro dan kontra selalu ada, tetapi selama kita mengikuti jalan Allah, jangan ragu-ragu," kata Sakti.

Keluar dari Sheila On 7, Sakti langsung terbang ke India, Bangladesh dan Pakistan untuk mempelajari agama Islam lebih dalam. Di situ ia juga mempelajari dakwah selama kurang lebih empat bulan. Di sana ia bertemu dengan muslim dari segala bangsa.

Pulang ke Tanah Air, Sakti langsung merubah namanya menjadi Salman Al-Jugjaywy. Penampilan dia juga berubah 180 derajat. Ia mulai menggunakan baju gamis. Rambut gondrongnya dipotong pendek. Ditutupi kopiah. Ia juga memelihara  jenggot. 

Dari Satu Masjid ke Masjid Lain

Sempat belajar di beberapa pengajian, hatinya merasa cocok dengan organisasi Islam bernama Jamaah Tabligh. Sakti mulai berdakwah dari satu masjid ke masjid lain. Melatih diri dalam beribadah secara ikhlas kepada Allah SWT.

Untuk menghidupi putrinya, Asyiah Az-Zahra dan istri Miftahul Jannah, Sakti membuka sebuah minimarket dan jasa laundry. Baginya itu sudah cukup. Meski jika dibandingkan uang yang ia peroleh semasa menjadi artis, uang itu tentu tak seberapa.

Meski sibuk mendalami agama, Sakti tak menampik ia tetaplah seniman dan sesekali masih memegang gitar. Hanya saja porsi kegiatan-kegiatan bermusik kini dikurangi.

Menurut Sakti, setiap profesi adalah sah saja hukumnya asal setiap orang mengetahui apa kebutuhan Allah baginya. "Seperti almarhum Gito Rollies, beliau seniman tapi juga berusaha mengerti apa kebutuhan Allah baginya," ujar Sakti yang memelihara  jenggot hitam lebat yang memenuhi dagu dan sebagian pipi.

Meski memilih jalan berbeda, hubungan personel Sheila On 7 masih tetap baik. Sakti mengaku tetap bersilaturahmi dengan teman-temannya itu. 

0 Response to " Metamorfosa Sakti "Sheila On 7" "

Posting Komentar