"Allahu Akbar...Allahu Akbar". Kalimat takbir terus terucap dari mulut Deden Rahmat Saleh. Pria 32 tahun itu makin kuat memeluk bayinya yang baru berumur 7,5 bulan. Dalam hitungan detik, tubuh mereka tergulung tanah lembek seperti bubur. Semua gelap gulita.
Tanah yang menggulung itu berhenti. Antara sadar dan tidak, Deden tak mampu membuka mata. Wajahnya tertutup lumpur tanah. Tubuhnya pun terhimpit tanah dari berbagai sisi. Deden tahu nyawa masih melekat di tubuhnya saat dia mendengar tangis bayi di pelukannya.
Sekuat tenaga ia bangkit dengan mata masih terpejam. Tangan kirinya masih memegang bayi yang makin meraung tangisannya. Sementara tangan kanannya terus mengais tanah. Deden coba melepas himpitan tanah sambil goyang-goyangkan tubuhnya. Timbunan tanah yang menguburnya pun melonggar.
Saat sedikit ada ruang, kepala Deden bergerak sedikit. Cahaya bulan samar-samar menerobos bola matanya. Diusapnya wajah dan mulut yang masih berlumuran tanah. Deden pun mulai berteriak mencari-cari Suryati, istrinya yang berusia 27 tahun. Ternyata posisi Suryati hanya sekitar selangkah dari suami dan bayinya.
Mendengar teriakan suami dan tangisan bayinya, tubuh Suryati yang ikut tertimbun longsoran segera melompat ke arah suara. Tubuhnya sempoyongan. Mungkin sesuatu sempat menghantam kepalanya. Suryati berhasil meraih tangan suami. Si bayi yang masih menangis diangkatnya segera. Kemudian tangannya meraih sang suami, Deden.
Dengan tubuh berselimut lumpur, mereka menangis. Mereka berangkulan sambil membersihkan tubuh bayinya.
Lumpur yang masih beringsut perlahan membuat mereka sadar untuk segera mencari tanah yang lebih keras. Deden menarik tubuh istrinya yang tak lepas menggendong sang bayi, mendekat pohon petai yang tak seberapa jauh.
Mereka merangkak hingga mencapai tanah keras. Bayi mereka, Ratnasari Dewi tiada kunjung berhenti tangisnya, seperti juga mereka yang pecah tangisnya. Tangis bahagia lepas dari maut di malam, Sabtu 28 Maret 2015 lalu.
Malam itu, 12 orang tewas karena tanah longsor. Dua diantaranya adalah ibu dan kakak dari istri Deden. Puluhan rumah rata dengan tanah. Sekitar 290 orang harus mengungsi. Ajaibnya, Deden, istri dan bayi selamat. Tidak mengalami luka serius.
Di bawah rintik hujan, warga berdatangan untuk menyelamatkan para korban. Tak terkecuali keluarga Deden yang mereka temukan terduduk di bawah pohon.
Malam itu, mereka lolos dari maut yang berlangsung singkat hanya 15 menit. Rumah mereka yang hanya berjarak 15 meter dari ujung tebing yang longsor, di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi.
Perasaan Sudah Meninggal
Meski sudah lewat dua bulan, peristiwa itu masih menyisakan trauma di keluarga Deden.
"Saya dan istri sebenarnya mau melupakan semua itu," kata Deden dengan nada suara berat, saat Dream berkunjung ke rumah kontrakannya di kampung Babakan Ranji, Bojong Galing, RT 01/RW 09, Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, akhir pekan kemarin.
Rumah Deden hingga kini masih serata tanah. Dia terpaksa mengontrak rumah 20 kilometer dari tempat tinggal sebelumnya. Deden sempat enggan mengingat kembali cerita pahit itu. Namun ia akhirnya bersedia berbagi kisah selamat dari kematian.
Duduk bersila dengan sang istri di atas dipan teras kontrakannya, Deden sempat susah memulai cerita. Terbata-bata.
Deden menghela nafas panjang saat mulai mengingat kejadian malam itu. Saat itu hujan mengguyur kampungnya sejak sore. Kadang berhenti, kemudian deras lagi. Namun entah mengapa, malamnya hawa justru panas, bukan dingin.
Deden dan istri pun memilih tidur di tengah rumah. Ia menarik kasur dari kamar. Mereka tidur bertiga, si orok mereka taruh di tengah, sedangkan Deden posisinya dekat ke tembok. Posisi muka Deden dan istri saling berhadapan.
Istri dan anaknya lebih dulu ke peraduan. Deden baru memejamkan mata begitu melihat jam dinding 30 menit lagi menjelang tengah malam.
Belum ada semenit, Deden dikagetkan dengan suara gemuruh. Ia sempat mengira suara itu berasal dari kendaraan roda empat yang melintas.
Namun suara itu makin kencang diiringi rumahnya bergetar hebat. Sama seperti kesaksian korban longsor lain yang berhasil selamat, bunyi gemuruh itu diiringi derak pohon tumbang dan patah.
Lampu padam dan tiba-tiba brak!! Sesuatu menghantam dinding rumah dan langsung menimbun Deden sekeluarga.
"Saya refleks ngambil tubuh si kecil dan memeluknya erat. Saat itu saya sadar kalau rumah saya terkena longsor. Material tanah entah berapa banyak terus menyeret tubuh saya ke bawah," kata Deden yang sehari-sehari berkerja di bengkel las.
Saat terseret itu Deden terus membaca shalawat dan takbir seraya memegangi tubuh orok memeluknya erat ke dadanya.
"Iya perasaan udah meninggal. Semua gelap. Saya cuma istigfar. Pikiran kemana-mana. Saya udah pasrah aja ini mungkin udah dikubur," kata Suryati menimpali dengan mata berkaca-kaca.
Deden sekeluarga percaya nyawa mereka bisa selamat karena kehendak Allah SWT. Mereka seperti diberikan jalan kemudahan untuk lolos dari maut. Padahal kondisinya mustahil selamat. Apalagi anaknya masih bayi ikut terkubur.
Deden dan Suryati cuma lecet sedikit di bagian punggung. Anaknya hanya sempat buang kotoran seperti tanah beberapa hari.
"Allah kasih kesempatan baik buat saya merubah hidup dan menata hidup lebih baik lagi. Ini kesempatan buat saya dan istri lebih beriman lagi. Perbanyak ibadah. Kami tak mau membuang kesempatan yang sudah diberikan Allah," tutur Deden yang berkali-kali mengucap syukur.
Perlahan Deden mulai bangkit menata kembali keluarga kecilnya. Ia tak mau terus bersedih, melihat rumah warisan sang istri yang baru ditempati 1,5 tahun lenyap tertimbun tanah.
Harta benda Deden ludes. Tersisa cuma kaos oblong hitam dan celana pendek bola yang dikenakan saat kejadian. Dan daster yang dipakai sang istri.
Berkat bantuan pemerintah daerah, keluarga Deden diberikan dana Rp 2 juta untuk mengontrak rumah selama setahun. Sambil menunggu relokasi dan dijanjikan diberi tempat baru, tanah 1 are plus uang bangunan Rp 25 juta.
Deden belum sepenuhnya kembali bekerja. Baru masuk setengah hari.
"Saya belum berani ninggalin istri lama-lama. Kasian dia masih trauma. Suka nangis sendiri. Takut ada apa-apa kalau ditinggalin lama sendirian. Apalagi anak saya masih orok. Saya coba biar traumanya cepet ilang. Biar kerja juga tenang," harapnya.
Sering Beribadah
Warga percaya Deden sekeluarga bisa lolos dari maut karena mujizat dari Allah. Jika melihat kondisi rumahnya, mustahil mereka selamat.
"Itu kehendak Allah. Sulit dijelaskan. Deden, istri dan bayinya yang masih kecil selamat, padahal ketimbun tanah. Subhanallah," kata Syamsunnajah, 36 tahun, salah satu warga yang selamat dari bencana itu.
Di mata tetangga, Deden adalah sosok yang ramah dan rajin beribadah. Ia sering pergi ke masjid salat berjamaah. Begitu juga sang istri, rutin mengikuti pengajian di majelis taklim.
"Dia orang baik. Ya mungkin karena itu. Kita ga tahu. Wallahualam."
Melongok ke lokasi kejadian yang berjarak 17 kilometer dari terminal Sukaraja, Sukabumi, sisa tanah merah longsoran masih berceceran di tengah jalan. Di sebelah kiri nampak bukit yang menjadi longsoran awal.
Di kaki bukit telah memasang beronjong--tanggul batu dililit kawat, guna menahan longsor susulan. Di bawah tebing, satu kampung berisi 110 kepala keluarga yang tinggal dalam 90 rumah warga, hilang disapu tanah.
Kini hanya tersisa gundukan tanah merah dan akar pohon yang tercabut. Tak ada lagi tanda kehidupan.
0 Response to " Takbir yang Menyelamatkan dari Maut "
Posting Komentar