Ada secuil kisah dari penyair ulung nan jenaka, Abu Nawas, yang kira-kira patut jadi pelajaran buat kita, yakni, ketika pria bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami, itu, mencari cincin.
Seperti dikutip dari situs kisahhikmah, suatu hari, Abu Nawas sibuk mondar-mandir mencari sesuatu dan cukup lama.
Gara-gara lamanya masa yang ia gunakan mencari, tidak sedikit tetangganya yang bertanya-bertanya, penasaran.
Banyak pula di antara mereka yang mendekati. Lalu, mereka pun bergabung.
“Hai Abu Nawas,” seru salah seorang tetangganya, “apakah yang kaulakukan?”
"Mencari cincin,” jawab Abu Nawas dengan santai.
Laki-laki penanya itu pun turut serta membantu sebisanya. Ikut mondar-mondir. Ke sana ke mari. Lama. Hingga, mereka pun kelelahan dan bosan.
“Memangnya,” tanya salah seorang di antara yang ikut membantu mencarikan cincin yang hilang itu, “cincinmu itu jatuhnya (kira-kira) di mana?”
Tanpa merasa bersalah, Abu Nawas menjawab santai, “Seingatku, cincin itu jatuh di dalam rumahku.”
Mendengar jawaban itu, orang-orang pun langsung berhenti dari pencariannya. Sebagian ada yang emosi, dan langsung pergi. Sedangkan sebagian lainnya tetap tinggal. “Jika jatuh di dalam rumah,” tanya satu di antara mereka, “mengapa engkau mencarinya di luar rumah?”
Sejenak menghela nafas, Abu Nawas pun sampaikan alasan, “Bukankah kita sering melakukan itu, saudara-saudaraku? Seringkali kita mencari penyebab di luar diri atas berbagai persoalan yang kita hadapi.”
Katanya mengakhiri, “Bahkan, kita menyalahkan pihak lain saat ditimpa masalah. Dan menjadikan orang-orang di luar diri sebagai penyebab utama atas persoalan yang melilit diri kita.”
Saat sakit, misalnya, seringkali kita berpikir yang aneh-aneh dan rumit. Padahal, yang menjadi sebab utama atas sakit yang kita alami adalah zhalimnya diri terhadap tubuh.
Baik makan sembarangan, mengonsumsi makanan dan minuman yang tak jelas halal dan haramnya, mengabaikan hak tubuh untuk istirahat, abai terhadap olah raga sebagai salah satu komponen utama penunjang kesehatan, bahkan tidak peduli terhadap ruhani sebagai faktor yang amat penting dalam mempengaruhi kesehatan badan.
Begitupun dengan banyak persoalan kehidupan lainnya. Kita terlalu mudah memberi maaf pada diri, tapi amat kejam dengan menisbatkan kekeliruan dan kezhaliman diri kepada pihak lain.
Bagi pribadi demikian, soalan hidupnya akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Soalan-soalan itu tidak akan pernah kelar, sebab hanya dihilangkan dampaknya.
Pasalnya, cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengatasi sebab utamanya.
Siapa Abu Nawas?
Abu Nawas atau Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami dilahirkan pada 145 Hijriyah (747 Masehi) di kota Ahvaz, Persia (Iran sekarang). Ayahnya berdarah Arab dan ibu Persia.
Abu Nawas dikenal sebagai pujangga Arab dan dianggap penyair terbesar sastra Arab klasik.
Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam.
Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II. Sedangkan ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol.
Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah, Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh perilaku kontroversial yang membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam.
Meski begitu, sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, di samping cita rasa kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan Abu Ubaidah. Ia juga belajar Al-Quran kepada Ya'qub al-Hadrami.
Pada Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad as-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesusastraan Arab.
Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair.
Berkat kehebatannya menulis puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah, yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyairmultivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru.
Namun sayang, karya-karya ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim.
Kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (sya'irul bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara.
Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak jatuh pada tahun 803 M.
Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah, menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai jalan panjang menuju Tuhan.
Walau dekat dengan Sultan Harun al-Rasyid, Abu Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam kegelapan–tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah.
Beberapa sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya. Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau 196 H/811 M.
Sedangkan yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga Nawbakhti – yang menaruh dendam kepadanya.
Ia dimakamkan di Syunizi di jantung Kota Baghdad.
0 Response to " Ini Kisah Abu Nawas yang Menyinggung Penyakit Kepribadian Anda "
Posting Komentar