KALAU kita tergolong perekonomian yang cukup, atau juga bisa dikatakan kelas menengah ke atas, mungkin kita sulit percaya, jika di Indonesia yang kaya alamnya, masih saja ada penduduknya hidup berharap dari belas kasih oranglain. Saya sangat berkeyakinan, banyak sekali yang masih tergolong keluarga fakir miskin di daerah tertentu yang tak terpantau pemerintah setempat.
Seperti berita di Kompas, Jumat 22 Mei 2015, Nenek 95 Tahun Hidup Sebatang Kara, Menjerit Saat Kelaparan. Walaupun terlihat ganjil judul di atas, tapi cukup menarik perhatian saya. Yang akan diulas bukan kesalahan judulnya, tapi ada yang jauh lebih penting.
Ini adalah potret buram kesenjangan sosial yang turun temurun dari zaman dulu sampai sekarang. Sudah berapa tahun Indonesia merdeka? Kenapa masih banyak berbagai kasus yang sama meliliti kehidupan negeri ini.
Ini adalah potret buram kesenjangan sosial yang turun temurun dari zaman dulu sampai sekarang. Sudah berapa tahun Indonesia merdeka? Kenapa masih banyak berbagai kasus yang sama meliliti kehidupan negeri ini.
Tidak mampukah selama 70 tahun pemerintah menyelesaikan tugas pokoknya untuk mensejahterakan rakyat? Kalau saja kita selalu membaca dan menonton banyaknya penduduk yang masih fakir miskin, itu tandanya Indonesia gagal sebagai negara.
Satreya (95) seorang nenek janda, yang rabun dan kurang pendengarannya tidak dikaruniai anak ini, terpaksa bertahan hidup sebatang kara dari belas kasihan keponakan dan tetangga. Nenek tersebut tinggal di Desa Larangan Dalam, Kelurahan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Dengan seluas 3 meter x 4 meter berdinding anyaman bambu yang sudah bolong-bolong dari berbagai sisi, rumah itu beratapkan genting yang mulai berjatuhan. Rumah tanpa sekat itu tak ada isi perabotnya, ataupun peralatan rumah, hanya ada bayang dari bambu yang beralas rumbia.
Peralatan dapur pun tak ada, hanya ada tungku dan tempat sebuah wadah yang terbuat dari tanah untuk memasak air. Kalau mau buang air besar dan kecil nenek ini terpaksa di lubang yang berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman sekitar 50 sentimeter, karena rumahnya tak ada kamar mandi ataupun jamban.
Arsia adalah keponakan nenek yang hampir tiap hari berkunjung memerhatikan bibinya. Namun, karena jarak rumahnya jauh, tidak bisa setiap hari merawat nenek yang sudah tua renta itu. Walaupun sebagai buruh tani yang janda, Arsia ikhlas bisa membantu bibinya dengan keterbatasannya. Kesulitan Aria adalah kalau bibinya sedang sakit, ia terpaksa meminta tolong pada tetangga untuk membantu dan menemaninya.
Menurut keterangan keponakannya, bibinya sewaktu muda dulu adalah seorang tukang pijit bayi. Namun, seiring waktu usia yang semakin senja, tak ada lagi yang memijit dengan bibinya.
Nenek yang tinggal sendiri itu sering teriak-teriak, bahkan sampai menangis, karena kelaparan. Mungkin karena telat datang nasi, atau keponakannya kelupaan mengantarkan nasi, ujar Satrawi, tetangga nenek. Kalau sudah begitu, tetangganya itu pun menyuruh istrinya untuk mengantarkan makanan.
Dan jika Satrawi akan bepergian jauh, ia tak lupa mengintip nenek itu dari celah lubang, untuk memastikan nenek baik-baik saja, karena dikhawatirkan nenek itu sakit atau meninggal dalam keadaan seorang diri di rumahnya.
Untunglah masih ada rasa kemanusiaan pada keluarga dan tetangga nenek tersebut, andaikan sifat apatis melekat pada mereka, apa yang terjadi dengan nenek janda sebatang kara itu. Jika nenek dengan segala ketidakberdayaannya itu meninggal atau sakit, maka kita yang tahu ini akan mempertanggungjawabkannya di kemudian hari.
Dan sebagai perwakilan negara, pemerintah setempat seharusnya bisa kembali melototi Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK YANG TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA. []
0 Response to " Nenek Rabun dan Pemerintah Buta "
Posting Komentar